Selasa, 24 Februari 2009

Kiat Merendahkan Mutu PTK-PNF

Paparan ini boleh jadi sangat jauh dari ‘mainstream’ upaya pencitraan PNF agar lebih baik di mata khalayak. Dan PNF sebagai ‘kelompok pinggiran’ dalam menunaikan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa apalagi dengan idiom pemberdayaan masyarakat, rasanya menjadi semakin mustahil.
Justeru paparan ini lahir dari hasil penalaran sadar pengamatan langsung sebagai ‘praktisi fungsional’ PNF yang konon memiliki posisi lebih terhormat dalam menjalankan pengembangan model. Di pihak lain, model PNF itu sendiri belum secara gagah mampu dikibarkan apalagi dijadikan tameng atas ke-pencundang-an pendidikan terhadap pemberdayaan dan pengembangan capital sosial masyarakat. Boleh jadi sebagai ‘front line’ yang melaksanakan program teknis, PTK-PNF memperoleh amunisi memadai dalam menghancurkan ‘musuh', tidak akan pernah kesampaian. Fenomena yang ditemukan, justeru sangat bertolak belakang dari kebanggaan dan kesan ideal tenaga fungsional yang profesional.
Sekalipun tulisan ini mengedepankan makna antagonis terhadap perbaikan mutu PTK-PNF yang memang tidak pernah akan berhenti. Setidaknya catatan ini menjadi fenomena yang pernah dirasakan dan bagian mozaik wacana kinerja PTK-PNF.


Ibarat menegakkan benang basah.

Terlalu berlebihan apabila hendak dikatakan ‘onani’ melihat kinerja dan kualitas kerja PTK-PNF, namun seperti itulah kejadian nyata dialami.
Citra PNF yang terpuruk dan enggan bangkit ketika dihadapkan pada ‘dekadensi’ pendidikan formal dan impotensi fungsi PNF bagi pemberdayaan masyarakat, merupakan gambaran yang tidak dibangun semalam. Justru citra buruk PNF disemai oleh struktur kebijakan dan perilaku internal institusi.
Dalam kaitan ini, peran ‘governance’ instansi pemerintah di bidang PNF berjalan mewakili antithesis terhadap kemajuan dan semangat zaman yang menawarkan spectrum pendidikan sepanjang hayat. Bahkan domain pendidikan untuk semua dimana interaksi ‘saling ajar’ tidak berlangsung satu arah seakan diingkari. Dengan demikian antara ‘patron’ dan ‘klien’ harus belajar secara simultan dari interaksi yang dimainkan bersama. Justeru melalui PNF, andragogi yang dikembangkan menempatkan interaksi patron – klien saling membelajarkan diri. Tidak lagi mengenal rejim penguasa – yang dikuasai. Memang instansi PNF sendiri tidak kebal dari pengaruh yang sengaja ditampilkan sebagai birokrasi pemerintah yang masih tertatih menerapkan ‘good governance’ dan standar pelayanan prima. Penelusuran sebab dapat bermula dari pola rekrutmen hingga pemberian renumerasi.
Interaksi di antara aktor internal – regulator dan operator – PNF yang tidak pernah berkesudahan berebut ‘jatah proyek’ dan ‘uang perjalanan’ tanpa disadari menumpulkan daya tembus program, dimulai dari pengabaian substansi dan mementingkan daya serap anggaran.
Jika saja hendak mencontoh penyelenggaraan kuis, dimana karyawan, sponsor tidak boleh terlibat. Seharusnya pula, tidak ada satu pun aktor internal PNF melibatkan diri dalam menerima manfaat program secara langsung. Kenyataanya, masih ditemukan beberapa orang, memanfaatkan peluang dengan membangun PKBM atau kelompok masyarakat dadakan untuk menerima bantuan. Memang hal ini tidak perlu dicurigai berlebihan, terlepas dari maksud luhur di awal memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan dana pemerintah serta meningkatkan daya serap anggaran instansinya.

Profesionalisme setengah hati
Ada tiga wacana pokok mengenai kemampuan profesional (Supriadi,2004:57) yaitu pendidikan yang memadai, keahlian dalam bidangnya dan komitmen terhadap tugas. Meski dalam praktek, peran lembaga asosiasi harus ditambahkan sebagai komponen keempat.
Sejak awal rekrutmen, PTK-PNF lebih banyak didasarkan pada proses alami, masuk karena sudah mengabdi dalam program sekian lama. Kalau ada yang berbuat tak pantas, koneksi dan kekerabatan menjadi sandaran. Kenyataan ini dapat membuat malu sebagian orang, namun berbicara semangat bahkan misi pribadi jelas akan nampak perbedaan. Kemauan menjadi PTK-PNF didasari kemampuan dan hasrat pribadi akan dicerminkan dari unjuk kerja. Sehingga pola pembinaan dan pendidikan lebih lanjut akan memberikan tambahan energy bagi keahlian bekerja yang menjadi penguatan bagi komitmen dalam bekerja.
Asosiasi PTK-PNF yang lahir dari kebutuhan yang diawali dari pembentukan komunitas untuk saling berbagi dan mengasah kemampuan jelas akan lebih mumpuni. Dibandingkan dengan asosiasi yang by design dibentuk untuk menguatkan kepentingan pembentuknya. Namun mengingat keadaan dan kesadaran dalam ber-asosiasi, jalan tengah ditempuh. Sebagaimana falsafah ing ngarsa sung tulodo, hampir semua asosiasi PTK-PNF dilahirkan dari campur tangan pemerintah, bukan atas dasar kemandirian komunitas. Gejala seperti ini memang bukan hal aneh kalau kita melihat lembaga lain bahkan PGRI sekalipun di awal perkembangannya yang menjadi ‘onderbow’ penguasa.
Penumbuhan prakarsa masyarakat sebagai bagian dari penguatan ‘civil society’ merupakan ajang pergulatan PNF seperti halnya pembentukan kelompok belajar di masyarakat. Namun mengapa dalam contoh asosiasi PTK-PNF semisal FPBI seakan prakarsa tidak muncul internal. Memang sebagian pimpinan instansi sempat mencurigai dan gkhawatirkan FPBI berjuang berlebihan yang layak digembosi bahkan dianggap tidak perlu. Perbedaan platform seperti ini dalam menyikapi FPBI, tidak pernah berujung pada penguatan profesionalisme pamong belajar yang notabene adalah elemen PTK-PNF.
Untuk meningkatkan keahlian misalnya by design, seorang pamong tidak boleh keluar dari patron ilmu pendidikan. Padahal untuk menjadi pendidikan terlebih PNF memiliki kiprah unggul, tidak melulu pendekatan ‘education science’ semata. Apalagi kajian yang hanya bersifat kurikulum dan metodologis semata, hanya menjadikan pencapaian kinerja PNF tidak pernah menyentuh substansi pemberdayaan dan peningkatan kapasitas sosial masyarakat. PNF akan lebih dipandang jika memperhatikan rekayasa belajar sosial di masyarakat dibandingkan rekayasa belajar individu di dalam kelompok belajar. Tantangan seperti tidak pernah dijawab melalui keleluasaan peningkatan keahlian PTK-PNF, khususnya pamong belajar. Bahkan dukungan sarana telematika untuk memperbarui pemahaman sebagai prasyarat di beberapa instansi milik PNF jauh dari kelayakan. Hal ini memberikan dampak, pengembangan model yang dilakukan tidak pernah mengalami penyesuaian selain hanya mencontoh pamong belajar senior yang belajar dari nenek moyang atau kakak perguruan kesatu maupun kedua dan seterusnya. Maaf kata kalau ini ditengarai makin merendahkan mutu PTK-PNF, karena produk pengembangan model yang sekarang dikembangkan adalah reka ulang model pendahulu mereka.
Di lain pihak, banyak kebijakan lokal yang kontra-produktif yang tidak memihak peningkatan mutu justeru dipertahankan dengan alasan klasik “sudah dari awal begini” atau “sudah begitu sejak awal”. Bahkan perubahan eselonisasi sebuah instansi PNF agar lebih ‘mandiri’ tidak mengandalkan petunjuk pusat, Nampak tidak mau susah memikirkan segala hal yang menunjang pengembangan dan penyempurnaan mekanisme baik itu pengelolaan sarana, dan modal karyawan. Dalam hal keuangan yang diharapkan meningkatkan daya tawar pun, bahkan tidak menunjukkan hal berubah dibandingkan ketika eselon lembaga tersebut berubah.
Bahkan praktek melakukan pekerjaan yang lebih baik justeru harus dibenturkan pada perbedaan persepsi yang tidak jarang menyulut gesekan antar pribadi dan berujung pada masalah pribadi yang mengurangi kondusivitas lingkungan kerja.

Senin, 09 Februari 2009

Memutuskan sendiri atau dipaksa ‘Bermutu’
Oleh: E. Hardiyanto

Setelah ‘private enterprise’ yang gencar menerapkan praktek ‘good corporate business’ satu dekade akhir. Giliran domain ‘public service enterprise’ gencar mempraktekkan program peningkatan mutu. Hal ini ditandai penyusunan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), penerapan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), hingga berbagai instansi pemerintah beramai-ramai memasuki kancah Internasional Standar Operating (ISO).
Sebenarnya tulisan ini disampaikan untuk menggambarkan keadaan antara ‘perilaku mutu’, ‘lingkungan mutu’ dan korelasi di antara keduanya dalam sebuah instansi yang memiliki sejarah panjang, dilahirkan empat dekade silam.
Dalam ‘Actor Network Theory’ yakni aktor manusia dan aktor fisik berinteraksi sederajat dalam bentuk korelasi berdimensi jamak.

‘Perilaku mutu’ membutuhkan kebiasaan
ISO sebagai pijakan awal pun belum intens dipraktekkan apalagi bila hendak dijadikan internalisasi nilai dan norma pribadi. Sampai internalisasi diperoleh, harus terlebih dahulu diadopsi kesadaran untuk berubah dari pandangan dan anggapan lama yang tidak mendukung 'perilaku mutu'. Untuk ini, Wali Mutu dan komite yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan mutu harus menjadi inisiator dan tanggap terhadap tuntutan mutu dalam pelaksanaan pekerjaan.
Dilain pihak unsur-unsur satuan tugas pun harus memiliki kepekaan terhadap tuntutan mutu pekerjaan yang dipraktekkan sehari-hari. Catatan menjadi bagian penting yang menjadi dokumen acuan memperbaiki ‘baku mutu’ di kemudian hari.
Untuk ini, seorang karyawan memerlukan kebiasaan menulis ‘fakta’ pekerjaan dibanding ‘ngerumpi’, menyatakan ‘curhat’ ataupun mencari pembenaran atas masalah pribadi di rumah.
Dalam kenyataan melatih mencatat fakta adalah education by study on the job (Deming, 1986: 466) yang merupakan praktek Pendidikan Non Formal, menjadi semakin bermakna. Jika saat Pendidikan Formal di sekolah dibiasakan ‘mencatat’ saat tugas diberikan. Maka di tempat kerja, mencatat harus muncul dari kebutuhan diri bukan semata ditugaskan. Dapat dipahami, sikap untuk senantiasa mencatat sebagai hasil perolehan pendidikan formal, secara tidak kongruen diabaikan oleh situasi pendidikan non formal di tempat kerja. Seyogyanya, dalam konteks ini, diciptakan suasana Pendidikan Non Formal yang juga hiaru terhadap pembentukan ‘integritas diri’. Terlebih dalam lembaga yang dicontohkan dalam tulisan ini mengatas-namakan diri Pusat Pengembangan bagi program Pendidikan Non Formal (P2-PNFI).

‘Lingkungan mutu’ diperlukan (juga)
Kerap kali kesadaran masyarakat sebagai lingkungan psikis yang tidak padan, menjadikan kita dianggap 'aneh'. Seperti kebiasaan mencatat ‘fakta’ yang ditampailkan di atas, seringkali dianggap mencolok bahkan ‘sok pintar’.
Manakala ‘perilaku mutu’ lain dimunculkan seseorang, maka turut pula pengorbanan fisik dan psikis harus menyertai.
Melalui cerita yang disampaikan seseorang. Pilihan untuk melanjutkan pendidikan formal (sebagai bagian 'perilaku mutu'), dianggap tak sejalan dengan kebijakan lingkungan (tempat kerja). Bahkan ‘self improvement’ membaca dan menulis artikel seperti ini sendiri masih dianggap ‘a-sosial’ dengan tuduhan yang menyakitkan seperti ‘mengerjakan obyek di luar kantor’. Pilihan melanjutkan pendidikan formal ‘bermutu’, sudah dapat dipastikan akan membenturkan pada masalah finansial. Karena toh masih berlaku, ada uang ada barang.
Di lain pihak, jadwal waktu ‘kerja’ dan melaksanakan pendidikan lanjutan ‘bermutu’ tidak selalu sinkron. Adakalanya memenuhi tuntutan waktu mengikuti pendidikan bermutu harus mengorbankan kewajiban lain. Upaya pribadi bernegoisasi – trade off – antara dua kepentingan seringkali mengurangi kapabilitas perilaku mutu seseorang. Apalagi, jika ternyata lingkungan diciptakan dari ‘kebijakan mutu’ yang didasarkan pada ‘personal sense’ bukan pada ‘common sense’. Sehingga tak jarang lingkungan seperti ini menyebabkan 'clash' antar persona di tempat kerja. Bagi pencetus dan pengawal kebijakan, ‘standar mutu’ yang sudah usang dan dijadikan pegangan, memjadikannya kacamata kuda. Bahkan tuntutan ‘lingkungan mutu’ baru masih belum dianggap sah tanpa ‘petunjuk pusat’.
Kebutuhan lingkungan tempat kerja … not just good people; it needs people that are improving with education (Deming, 1986: 86). Sehingga organisasi tempat bekerja tidak akan pernah mengalami kelangkaan karyawan yang berpengetahuan dan mampu bekerja yang memberikan banyak kesempatan kerja sebagai pengembangan karir dan masa depan.
Kebijakan ‘lingkungan mutu’ distribusi tanggung jawab melaksanakan pekerjaan dan menyempurnakan hasil kerja adalah salah satu contoh agar seseorang tidak merasa puas dengan pendidikan formal yang dimiliki.
Life is change tegas Bapak Harris Iskandar (2009a) dalam sambutan apel pagi terakhir beliau kamis, 5 Februari 2009. Genap enam bulan, Beliau menjabat pelaksana tugas Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Formal dan Informal Regional I Jayagiri.

Mewadahi perilaku mutu dan lingkungan mutu
Bibit pertikaian dalam menyikapi perubahan akibat tuntutan baku mutu, memang tidak kasat mata. Bahkan dapat meledak seketika, ‘private enterprise’ banyak merasakan dampak ini seperti dalam ujud demo buruh, hingga anjloknya produktifitas bahkan penutupan operasi usaha karena bangkrut.
Seorang karyawan perusahaan swasta, tidak layak hanya sekedar tuntuan ‘mutu’ kehidupannya sendiri, dengan mengabaikan tuntutan tempat kerja dalam menjaga kelangsungan hidup.
Sedikit berbeda dialami oleh ‘public state enterprise’ yang masih kebal dari ‘demo’ dan ‘mogok’. Masalah produktifitas menjadi wacana yang mewarnai evolusi dunia kerja akibat tuntutan dan tantangan universal. Di belahan dunia lain, seperti di Brazil dalam lima tahun terakhir, evolusi ini telah menjadikan privatisasi sejumlah ‘pubic state entreprise’ dimulai dari bidang layanan kesehatan dan pendidikan. Indonesia sendiri baru menapakinya, akhir tahun 2008 melalui penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP), setelah sebelumnya didahului dengan Badan Hukum Milik negara (BHMN) sejumlah PTN.
Pandangan lingkungan kerja adalah semata-mata memiliki aturan dan lingkungan sendiri tidak dapat lagi dipertahankan sekedar mempertahankan ‘keangkeran’ lembaga. Bahkan Istana Presiden pun sekarang merelakan waktu dalam seminggu satu kali untuk ‘open house’, mendekatkan kepada rakyat dan masyarakat. Bagi ‘public state enterprise’, tidak boleh lagi diciptakan keangkeran berdasarkan simbul ‘penguasa / pemerintah’. Paradigm ini ternyata telah pula menyemai dan menyuburkan benih korupsi.
Perilaku mutu yang mendasarkan diri pada ‘public service’ pertama-tama bukan dihantarkan oleh banyak pintu masuk yang disediakan untuk masyarakat. Melainkan oleh persepsi dan pandangan kita terhadap kebutuhan dan kemauan publik yang berbeda. Kategori publik, bagi P2-PNFI direpresentasikan bukan hanya oleh jumlah warga belajar PNF yang dilayani, bukan jumlah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) maupun Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB). Dalam banyak pertemuan, ternyata domain publik P2-PNFI mencakup instansi pemerintah lain termasuk di lingkungan pendidikan formal, baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Bahkan perhatian yang dicurahkan terhadap pendidikan non formal menempatkan lembaga swadaya masyarakat dalam domain publik lembaga P2-PNFI. Untuk berinteraksi dengan sejumlah representasi publik, diperlukan makna dan pemahaman atas lambang yang digunakan dalam berkomunikasi antar lembaga. Jika ini diabaikan, niscaya ide dan gagasan P2-PNFI dalam pengembangan PNF, hanya sebatas ‘model etalase’ tidak menjadikannya jajanan pasar yang bisa dinikmati rasa dan manfaatnya.
Perilaku mutu untuk menyerap bidang ilmu dan khazanah publik, hanya dapat dipenuhi oleh ‘lingkungan mutu’ yang kongruen. Aturan dan kebijakan yang tidak pro-publik atau semu, perlu di-republik-kan melalui mekanisme ISO dimana WMA dan gugus tugas berkepentingan. Kebijakan Jakarta yang digambarkan ‘meneropong dari puncak monas’ tidak sama dengan kebutuhan gambaran publik sesungguhnya. Belum lagi suasana bati, kebijakan yang diterapkan saat rejim orde baru, memiliki suasana berbeda dengan situasi kerja yang mengharuskan ‘lingkungan mutu’ yang adaptif dengan kebutuhan publik yang dihadapkan pada tantangan keseimbangan tekanan. Tekanan itu (Sukmadinata, 2005:199) adalah tuntutan global dan lokal, universal dan individual, tradisional dan modern, pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, kompetensi dan pemberian kesempatan sama, serta tuntutan spiritual dan tuntutan material.
Setiap tiga puluh detik mengutip Denis Waitley (Adiwiyoto,1996: 15), beberapa perusahaan teknologi baru menghasilkan inovasi. Pendidikan formal sama sekali tidak cukup karena semakin banyaknya hal yang perlu diketahui. Menurut hemat penulis, kebutuhan sumber belajar menjadi semakin beragam yang tidak hanya cukup mengandalkan perpustakaan kantor yang lebih banyak mebelair dibanding buku dan bahan kepustakaan lain (Iskandar, 2009b).


Bacaan Lebih Lanjut:
Adiwiyoto, Anton (pen.) (1996). Empires of The Mind. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Deming, W. Edwards (1986) Out of The Crisis: Quality, Productivity and Competitive Position. Cambridge et.al.: Cambridge University Press.
Iskandar, Harris. (2009a). Sambutan Apel Pagi. Kamis, 5 Pebruari 2009. Catatan Pribadi. Tidak Diterbitkan.
-------------- (2009b). Pengarahan Penulisan Naskah Pedoman Pembentukan dan Pengembangan PKBM, SKB, dan Pusat PAUD. Jumat, 30 Januari 2009. Notulen. Tidak diterbitkan.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cetakan Ketiga. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Minggu, 01 Februari 2009

Standard Gaji 2009

* Written by Yodhia Antariksa
* Posted February 2, 2009 at 2:02 am

Memberi nafkah pada anak dan keluarga secara layak saya kira merupakan salah satu ikhtiar penting yang mesti kita lakoni dengan sepenuh hati. Bekerja dengan ikhlas dan penuh dedikasi demi mendapat penghasilan atau income yang memadai tentu juga merupakan sebuah rangkaian ibadah yang mesti kita rawat dengan penuh keteguhan.

Penghasilan yang layak dan nafkah yang memadai tentu saja tidak lepas dari standard gaji atau penghasilan yang Anda terima setiap bulannya. Lalu berapa standard gaji untuk setiap level yang berlaku di dunia kerja Indonesia? Berikut adalah daftar standard gaji yang kira-kira menggambarkan besaran pendapatan yang diterima oleh para pekerja dan manajer di tanah air setiap bulannya.

Fresh Graduates/Entry Level. Kisaran Standard Gaji Rp 2 – 3 juta/bulan
Dalam sepuluh tahun terakhir, besaran gaji para fresh graduates (lulusan S-1) tampaknya tidak bergerak naik secara signifikan. Penyebabnya sederhana : supply cenderung jauh lebih tinggi dibanding demand; sehingga buyer (perusahaan) memiliki keleluasaan untuk memberikan gaji yang relatif rendah. Meski demikian sejumlah perusahaan multi nasional kini memberikan gaji bagi para fresh graduate-nya pada angka Rp 4 juta/bulan; sementara Bank Indonesia sejauh yang saya tahu, telah memberikan gaji Rp 5 juta/bulan untuk para lulusan sarjana baru yang bekerja untuk mereka. Namun demikian, masih banyak juga lulusan sarjana S-1 baru yang mendapat gaji sebanding dengan UMR alias sekitar Rp 1 jutaan saja per bulan.

Asisten Manajer. Kisaran Standard Gaji Rp 5 – 8 juta/bulan
Jika Anda sudah bekerja di kantor Anda selama 3 – 5 tahun, selayaknya Anda sudah menduduki posisi ini. Dan itu artinya Anda bisa mendapatkan income sekitar Rp 5 – 8 jutaan per bulannya. Kalau sudah bertahun-tahun Anda tetap saja menjadi staf biasa dan tak pernah kunjung naik posisinya ke level ini, ya Anda bisa mulai melakukan sejumlah manuver untuk membuat perjalanan karir tidak menjadi stagnan selamanya. Sebab kalau ndak pernah naik posisinya, gaji Anda ya juga ndak akan naik-naik (sementara harga semangkuk lontong sayur rasanya terus bergerak naik).

Manajer/Kepala Bagian. Kisaran Standard Gaji Rp 10 – 15 juta/bulan
Dalam kurun waktu 7 – 10 tahun bekerja, selayaknya Anda sudah bisa berada pada posisi ini. Kisaran gaji untuk posisi ini adalah Rp 10 – 15 juta, meski ada sejumlah perusahaan yang memberikan gaji hingga Rp 20 juta/bulan untuk para manajernya. Namun sejumlah bank nasional, seperti Bank BNI misalnya, memberikan gaji sekitar Rp 12 – 14 jutaan/bulan kepada para manajernya.

Selain gaji yang cukup tinggi, karyawan pada posisi ini biasanya akan mendapatkan car ownership program (program kepemilikan mobil). Dulu, perusahaan tempat saya bekerja memberikan bantuan gratis sebesar 70% dari harga mobil; dan sang manajer hanya memberikan alokasi dana 30 % saja, untuk bisa mendapatkan sebuah mobil sekelas Kijang Innova atau Honda City.

Manajer Senior/General Manajer/VP. Kisaran Standard Gaji Rp 20 – 30 juta/bulan
Minggu lalu disela-sela memberikan workshop kepada sebuah perusahaan perkebunan besar di Medan, saya berbincang-bincang dengan salah satu pesertanya yang kebetulan berposisi sebagai Manajer Senior. Ia bilang kalau ia memperoleh gaji sebesar Rp 25 juta/bulan. Dan ajaibnya, karena limpahan harga komoditi yang melonjak di tahun lalu, ia bilang tahun ini perusahaannya akan memberikan bonus 8 kali gaji (!) kepada seluruh karyawannya. “Alhamdulilah pak Yodhia….”, ujarnya dengan wajah sumringah. Halah, bagaimana ndak sumringah, wong sebentar lagi mau mendapat rezeki sebesar Rp 200 juta kontan.

Division Head/Executive VP/Direktur/Direktur Utama. Kisaran Standard Gaji Rp 50 juta – 100 juta/bulan
Dengan kisaran gaji seperti itu, pendapatan para direktur/division head/EVP berarti hampir sama dengan gaji seorang pilot senior Boeing 747 Jumbo di maskapai Garuda Indonesia (sebab gaji pilot senior untuk rute internasional di Garuda adalah Rp 90 juta/bulan).

Business Owner. Kisaran Standard Gaji : Unlimited
Nah, kalau Anda merasa ndak mampu menjadi manajer atau senior manajer, dan karirnya begitu-begitu saja; mengapa tidak memutuskan memulai usaha sendiri dan menjadi seorang business owner? Sebab dengan posisi itu, potensi gaji atau pendapatan Anda bersifat unlimited (tidak terbatas). Sebab Anda sendiri yang dengan bebas bisa menentukan berapa besar pendapatan yang layak Anda terima.

Demikianlah kira-kira Standard Gaji 2009.

Catatan Tambahan:
Artikel asli dapat diunduh dari link: http://strategimanajemen.net/2009/02/02/standard-gaji-2009/.
Maksud artikel ini dimuat dalam blog ini adalah menawarkan mimpi menciptakan pekerjaan sesuai standard gaji partikelir. Saat pensiun nanti, kita semua sudah dapat menerka rutinitas tiap bulan antri uang pensiun.
Bagaimana jika, sejak sekarang diciptakan peluang memperoleh gaji partikelir.....sehingga pensiun nanti tinggal menikmati hari tua dengan keliling dunia.