Rabu, 18 Maret 2009

Personifikasi komunikasi melalui Surat

Tiga puluh menit berlalu dilewatkan oleh tiga orang pamong belajar (PB) di salah satu sudut tepat dimana pos satpam berdiri mengawal pintu gerbang masuk (sekaligus keluar) kompleks bangunan megah di belahan utara bandung.
Saat itu, semua perhatian ditujukan pada laga sepakbola Copa Indonesia 2008 antara kesebelasan ‘maung bandung’ dengan kesebelasan Sriwijaya FC. Kesebelasan asal parahyangan ini memiliki pendukung yang menamakan diri ‘viking’. Keberadaan Viking yang merupakan ikon pelaut eropa di tataran sunda sendiri tidak dapat ditelusuri berdasarkan catatan sejarah.
Kekalahan telak maung bandung dari Sriwijaya yang pernah menjuarai Copa Indonesia tahun sebelumnya, menjadikan sepertiga waktu sisa pertemuan itu bergulir menanggapi situasi dan lingkungan pekerjaan.

Fairness NO WAY
Sambil menunggu kehadiran suguhan kopi yang disiapkan petugas satpam sore itu. Perbincangan dimulai dengan kabar dihapuskannya anggaran untuk kegiatan PTK-PNF memenuhi hak pendidikan anak pekerja Indonesia di Malaysia Timur.
“Kegiatan tersebut dikeluarkan dari PTK-PNF” jelas seorang pamong belajar menceritakan kembali keterangan Direktur Jenderal PTK-PNF setelah mengikuti kegiatan di Yogya beberapa waktu berselang. “Menurut Pak Erman: kegiatan tersebut diharapkan didukung oleh PNFI (Direktur Jenderal PNFI, pen.)”. Pamong ini adalah calon tenaga pendidikan yang akan dikirimkan ke malaysia untuk periode pemberangkatan pertama.
Tanggapan disampaikan oleh PB lain yang juga calon tenaga pendidik ke Malaysia pemberangkatan kedua, “Berbeda dengan surat pemberitahuan awal dan rekrutmen peserta yang dikirimkan hingga berlembar-lembar, pembatalan seperti ini tidak satu pun lembar surat ditulis”. Diharapkan, “setidaknya melalui email disampaikan pemberitahuan resmi, kalau memang kertas harus dihemat mengantisipasi dampak krisis finansial”.
Semua calon peserta tenaga pendidik ke Malaysia Timur di awal rekrutmen harus melengkapi persyaratan administrasi. Usaha ini tidak hanya mengorbankan waktu dan materi untuk menyediakan pas foto dari ukuran 2x3, 3x4, dan 4x6 yang berjumlah hampir sepuluh lembar, bahkan juga melibatkan pengorbanan immaterial. Dapat dibayangkan, mereka yang harus melakukan pemotretan untuk memenuhi syarat foto terbaru dan terlanjur menceritakan untuk apa foto diri tersebut. Bahkan kesibukan menyiapkan kelengkapan dokumen pendukung, tak ayal juga menyita perhatian rekan sekerja. Dari rekan kerja ini, setiap kali berpapasan akan menyapa dengan ujung pertanyaan kapan berangkat dan gambaran mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengalami sendiri menjadi TKI di luar negeri.
Jika diuraikan secara detail, persiapan calan peserta saja akan berlainan satu sama lain. Terlebih bagi mereka yang akan pertama kali merasakan ke luar negeri, persiapan dan bekal diri tentu berkorelasi dengan ketakutan dan gambaran hidup di luar negeri.
Maka akan tidak berlebihan, apabila untuk menghormati dan menghargai sejumlah persiapan calon peserta ini dilayangkan sepucuk kabar resmi mengenai ‘status pekerjaan’ dan memberitahukan alasan logis pembatalan atau penundaan program. Sehingga siapa pun, terutama calon peserta tidak berada dalam situasi gamang untuk melangkah di bidang pekerjaan yang semestinya digeluti. Hal ini juga dengan mempertimbangkan, hampir PB ‘calon’ membutuhkan kepastian pembatalan program agar dapat terlibat intens dalam rencana kerja tahunan di instansi masing-masing atau pekerjaan rutin lain.
Pertanyaannya lebih lanjut apakah seperti ini kondisi kerja dan komunikasi yang ingin dikembangkan oleh institusi terhadap persona yang kebetulan adalah pegawai instansi tersebut?

Jumat, 13 Maret 2009

Job Burnout: Kenali Gejala dan Atasi!

Pengantar:
Kesehatan kerja menjadi perhatian penting dalam meningkatkan produktifitas, tidak terkecuali di P2-PNFI Regional I. Untuk itu dalam menambah pemahaman kita, artikel ini dikutip, semoga bermanfaat.
Maaf untuk yang tidak berkenan.


KOMPAS.com (Jumat, 13 Maret 2009) — Sering merasa tertekan, depresi, kelelahan berlebihan, insomnia, perubahan berat badan yang tak sehat, kecemasan, atau bahkan ketergantungan pada zat adiktif karena pekerjaan? Sebagian orang menyadari, tetapi tak jarang mengabaikan gejala-gejala tersebut dan menyangkal bahwa mereka menghadapi masalah. Jika jawabnya ya, bisa jadi Anda mengalami suatu kondisi yang dinamakan job burnout.

Job burnout adalah suatu kondisi fisik, emosi, dan mental yang sangat drop diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat menuntut dalam jangka panjang. Jika semakin terkumpul dan tak diatasi, hal ini mengarah ke stres tingkat tinggi.

Penyebabnya antara lain:
Kekurangan kontrol. Mungkin Anda tak bisa membuat keputusan menyangkut pekerjaan Anda. Misalnya, tak bisa menentukan jam kerja Anda sendiri, atau tak bisa menentukan tugas apa yang akan Anda kerjakan. Mungkin Anda tak bisa mengontrol jumlah kerja yang masuk.
Ekspektasi kerja yang tak jelas. Ketidakjelasan mengenai seberapa besar kewenangan yang Anda miliki, dan tak memiliki keberdayaan untuk mengerjakan tugas Anda.
Dinamika ruang kerja yang disfungsional. Rekan-rekan kerja yang tak mendukung, rekan kerja yang usil, bahkan atasan yang meminta pekerjaan terlalu mendetail.
Ketidaksesuaian dalam nilai. Nilai-nilai yang Anda miliki berbeda dari cara perusahaan menjalankan bisnis atau ketidakadilan dalam menghadapi karyawan.
Pekerjaan yang tak disukai. Jika Anda terjebak dalam posisi yang tak Anda sukai, tak sesuai dengan minat dan keahlian, lama kelamaan akan bertemu dengan stres.
Aktivitas ekstrem. Ketika pekerjaan terlalu monoton dan berlebihan, dibutuhkan stamina dan energi lebih agar bisa tetap fokus. Tak heran di penghujung hari Anda akan kehabisan energi dan menghadapi job burnout.

Ketika Anda merasa gejala-gejala di atas tadi sudah merayapi Anda, sebaiknya segera mengambil tindakan. Bicarakan dengan atasan Anda mengenai keluhan-keluhan yang dihadapi. Temui penasihat kesehatan mental atau dokter. Jika kantor Anda memiliki bagian SDM, temui dan bicarakan mengenai kondisi Anda, siapa tahu bisa menemui jalan keluar. Atau, temui psikolog untuk menemukan jenis kerja yang paling cocok untuk Anda, yang tak terlalu banyak tuntutan dan lebih mengena dengan minat.

Keluar dari job burnout bukan mustahil, tetapi dibutuhkan banyak perubahan dan waktu. Buka mata dan pikiran, lalu telaah kembali kemungkinan-kemungkinan Anda untuk keluar dari masalah ini. Jangan biarkan pekerjaan yang banyak menuntut memengaruhi kesehatan Anda. *
C6-09

Artikel Asli dapat diunduh online pada:
http://id.news.yahoo.com/kmps/20090313/tls-job-burnout-kenali-gejala-dan-atasi-8d16233.html

Selasa, 24 Februari 2009

Kiat Merendahkan Mutu PTK-PNF

Paparan ini boleh jadi sangat jauh dari ‘mainstream’ upaya pencitraan PNF agar lebih baik di mata khalayak. Dan PNF sebagai ‘kelompok pinggiran’ dalam menunaikan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa apalagi dengan idiom pemberdayaan masyarakat, rasanya menjadi semakin mustahil.
Justeru paparan ini lahir dari hasil penalaran sadar pengamatan langsung sebagai ‘praktisi fungsional’ PNF yang konon memiliki posisi lebih terhormat dalam menjalankan pengembangan model. Di pihak lain, model PNF itu sendiri belum secara gagah mampu dikibarkan apalagi dijadikan tameng atas ke-pencundang-an pendidikan terhadap pemberdayaan dan pengembangan capital sosial masyarakat. Boleh jadi sebagai ‘front line’ yang melaksanakan program teknis, PTK-PNF memperoleh amunisi memadai dalam menghancurkan ‘musuh', tidak akan pernah kesampaian. Fenomena yang ditemukan, justeru sangat bertolak belakang dari kebanggaan dan kesan ideal tenaga fungsional yang profesional.
Sekalipun tulisan ini mengedepankan makna antagonis terhadap perbaikan mutu PTK-PNF yang memang tidak pernah akan berhenti. Setidaknya catatan ini menjadi fenomena yang pernah dirasakan dan bagian mozaik wacana kinerja PTK-PNF.


Ibarat menegakkan benang basah.

Terlalu berlebihan apabila hendak dikatakan ‘onani’ melihat kinerja dan kualitas kerja PTK-PNF, namun seperti itulah kejadian nyata dialami.
Citra PNF yang terpuruk dan enggan bangkit ketika dihadapkan pada ‘dekadensi’ pendidikan formal dan impotensi fungsi PNF bagi pemberdayaan masyarakat, merupakan gambaran yang tidak dibangun semalam. Justru citra buruk PNF disemai oleh struktur kebijakan dan perilaku internal institusi.
Dalam kaitan ini, peran ‘governance’ instansi pemerintah di bidang PNF berjalan mewakili antithesis terhadap kemajuan dan semangat zaman yang menawarkan spectrum pendidikan sepanjang hayat. Bahkan domain pendidikan untuk semua dimana interaksi ‘saling ajar’ tidak berlangsung satu arah seakan diingkari. Dengan demikian antara ‘patron’ dan ‘klien’ harus belajar secara simultan dari interaksi yang dimainkan bersama. Justeru melalui PNF, andragogi yang dikembangkan menempatkan interaksi patron – klien saling membelajarkan diri. Tidak lagi mengenal rejim penguasa – yang dikuasai. Memang instansi PNF sendiri tidak kebal dari pengaruh yang sengaja ditampilkan sebagai birokrasi pemerintah yang masih tertatih menerapkan ‘good governance’ dan standar pelayanan prima. Penelusuran sebab dapat bermula dari pola rekrutmen hingga pemberian renumerasi.
Interaksi di antara aktor internal – regulator dan operator – PNF yang tidak pernah berkesudahan berebut ‘jatah proyek’ dan ‘uang perjalanan’ tanpa disadari menumpulkan daya tembus program, dimulai dari pengabaian substansi dan mementingkan daya serap anggaran.
Jika saja hendak mencontoh penyelenggaraan kuis, dimana karyawan, sponsor tidak boleh terlibat. Seharusnya pula, tidak ada satu pun aktor internal PNF melibatkan diri dalam menerima manfaat program secara langsung. Kenyataanya, masih ditemukan beberapa orang, memanfaatkan peluang dengan membangun PKBM atau kelompok masyarakat dadakan untuk menerima bantuan. Memang hal ini tidak perlu dicurigai berlebihan, terlepas dari maksud luhur di awal memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan dana pemerintah serta meningkatkan daya serap anggaran instansinya.

Profesionalisme setengah hati
Ada tiga wacana pokok mengenai kemampuan profesional (Supriadi,2004:57) yaitu pendidikan yang memadai, keahlian dalam bidangnya dan komitmen terhadap tugas. Meski dalam praktek, peran lembaga asosiasi harus ditambahkan sebagai komponen keempat.
Sejak awal rekrutmen, PTK-PNF lebih banyak didasarkan pada proses alami, masuk karena sudah mengabdi dalam program sekian lama. Kalau ada yang berbuat tak pantas, koneksi dan kekerabatan menjadi sandaran. Kenyataan ini dapat membuat malu sebagian orang, namun berbicara semangat bahkan misi pribadi jelas akan nampak perbedaan. Kemauan menjadi PTK-PNF didasari kemampuan dan hasrat pribadi akan dicerminkan dari unjuk kerja. Sehingga pola pembinaan dan pendidikan lebih lanjut akan memberikan tambahan energy bagi keahlian bekerja yang menjadi penguatan bagi komitmen dalam bekerja.
Asosiasi PTK-PNF yang lahir dari kebutuhan yang diawali dari pembentukan komunitas untuk saling berbagi dan mengasah kemampuan jelas akan lebih mumpuni. Dibandingkan dengan asosiasi yang by design dibentuk untuk menguatkan kepentingan pembentuknya. Namun mengingat keadaan dan kesadaran dalam ber-asosiasi, jalan tengah ditempuh. Sebagaimana falsafah ing ngarsa sung tulodo, hampir semua asosiasi PTK-PNF dilahirkan dari campur tangan pemerintah, bukan atas dasar kemandirian komunitas. Gejala seperti ini memang bukan hal aneh kalau kita melihat lembaga lain bahkan PGRI sekalipun di awal perkembangannya yang menjadi ‘onderbow’ penguasa.
Penumbuhan prakarsa masyarakat sebagai bagian dari penguatan ‘civil society’ merupakan ajang pergulatan PNF seperti halnya pembentukan kelompok belajar di masyarakat. Namun mengapa dalam contoh asosiasi PTK-PNF semisal FPBI seakan prakarsa tidak muncul internal. Memang sebagian pimpinan instansi sempat mencurigai dan gkhawatirkan FPBI berjuang berlebihan yang layak digembosi bahkan dianggap tidak perlu. Perbedaan platform seperti ini dalam menyikapi FPBI, tidak pernah berujung pada penguatan profesionalisme pamong belajar yang notabene adalah elemen PTK-PNF.
Untuk meningkatkan keahlian misalnya by design, seorang pamong tidak boleh keluar dari patron ilmu pendidikan. Padahal untuk menjadi pendidikan terlebih PNF memiliki kiprah unggul, tidak melulu pendekatan ‘education science’ semata. Apalagi kajian yang hanya bersifat kurikulum dan metodologis semata, hanya menjadikan pencapaian kinerja PNF tidak pernah menyentuh substansi pemberdayaan dan peningkatan kapasitas sosial masyarakat. PNF akan lebih dipandang jika memperhatikan rekayasa belajar sosial di masyarakat dibandingkan rekayasa belajar individu di dalam kelompok belajar. Tantangan seperti tidak pernah dijawab melalui keleluasaan peningkatan keahlian PTK-PNF, khususnya pamong belajar. Bahkan dukungan sarana telematika untuk memperbarui pemahaman sebagai prasyarat di beberapa instansi milik PNF jauh dari kelayakan. Hal ini memberikan dampak, pengembangan model yang dilakukan tidak pernah mengalami penyesuaian selain hanya mencontoh pamong belajar senior yang belajar dari nenek moyang atau kakak perguruan kesatu maupun kedua dan seterusnya. Maaf kata kalau ini ditengarai makin merendahkan mutu PTK-PNF, karena produk pengembangan model yang sekarang dikembangkan adalah reka ulang model pendahulu mereka.
Di lain pihak, banyak kebijakan lokal yang kontra-produktif yang tidak memihak peningkatan mutu justeru dipertahankan dengan alasan klasik “sudah dari awal begini” atau “sudah begitu sejak awal”. Bahkan perubahan eselonisasi sebuah instansi PNF agar lebih ‘mandiri’ tidak mengandalkan petunjuk pusat, Nampak tidak mau susah memikirkan segala hal yang menunjang pengembangan dan penyempurnaan mekanisme baik itu pengelolaan sarana, dan modal karyawan. Dalam hal keuangan yang diharapkan meningkatkan daya tawar pun, bahkan tidak menunjukkan hal berubah dibandingkan ketika eselon lembaga tersebut berubah.
Bahkan praktek melakukan pekerjaan yang lebih baik justeru harus dibenturkan pada perbedaan persepsi yang tidak jarang menyulut gesekan antar pribadi dan berujung pada masalah pribadi yang mengurangi kondusivitas lingkungan kerja.

Senin, 09 Februari 2009

Memutuskan sendiri atau dipaksa ‘Bermutu’
Oleh: E. Hardiyanto

Setelah ‘private enterprise’ yang gencar menerapkan praktek ‘good corporate business’ satu dekade akhir. Giliran domain ‘public service enterprise’ gencar mempraktekkan program peningkatan mutu. Hal ini ditandai penyusunan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), penerapan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), hingga berbagai instansi pemerintah beramai-ramai memasuki kancah Internasional Standar Operating (ISO).
Sebenarnya tulisan ini disampaikan untuk menggambarkan keadaan antara ‘perilaku mutu’, ‘lingkungan mutu’ dan korelasi di antara keduanya dalam sebuah instansi yang memiliki sejarah panjang, dilahirkan empat dekade silam.
Dalam ‘Actor Network Theory’ yakni aktor manusia dan aktor fisik berinteraksi sederajat dalam bentuk korelasi berdimensi jamak.

‘Perilaku mutu’ membutuhkan kebiasaan
ISO sebagai pijakan awal pun belum intens dipraktekkan apalagi bila hendak dijadikan internalisasi nilai dan norma pribadi. Sampai internalisasi diperoleh, harus terlebih dahulu diadopsi kesadaran untuk berubah dari pandangan dan anggapan lama yang tidak mendukung 'perilaku mutu'. Untuk ini, Wali Mutu dan komite yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan mutu harus menjadi inisiator dan tanggap terhadap tuntutan mutu dalam pelaksanaan pekerjaan.
Dilain pihak unsur-unsur satuan tugas pun harus memiliki kepekaan terhadap tuntutan mutu pekerjaan yang dipraktekkan sehari-hari. Catatan menjadi bagian penting yang menjadi dokumen acuan memperbaiki ‘baku mutu’ di kemudian hari.
Untuk ini, seorang karyawan memerlukan kebiasaan menulis ‘fakta’ pekerjaan dibanding ‘ngerumpi’, menyatakan ‘curhat’ ataupun mencari pembenaran atas masalah pribadi di rumah.
Dalam kenyataan melatih mencatat fakta adalah education by study on the job (Deming, 1986: 466) yang merupakan praktek Pendidikan Non Formal, menjadi semakin bermakna. Jika saat Pendidikan Formal di sekolah dibiasakan ‘mencatat’ saat tugas diberikan. Maka di tempat kerja, mencatat harus muncul dari kebutuhan diri bukan semata ditugaskan. Dapat dipahami, sikap untuk senantiasa mencatat sebagai hasil perolehan pendidikan formal, secara tidak kongruen diabaikan oleh situasi pendidikan non formal di tempat kerja. Seyogyanya, dalam konteks ini, diciptakan suasana Pendidikan Non Formal yang juga hiaru terhadap pembentukan ‘integritas diri’. Terlebih dalam lembaga yang dicontohkan dalam tulisan ini mengatas-namakan diri Pusat Pengembangan bagi program Pendidikan Non Formal (P2-PNFI).

‘Lingkungan mutu’ diperlukan (juga)
Kerap kali kesadaran masyarakat sebagai lingkungan psikis yang tidak padan, menjadikan kita dianggap 'aneh'. Seperti kebiasaan mencatat ‘fakta’ yang ditampailkan di atas, seringkali dianggap mencolok bahkan ‘sok pintar’.
Manakala ‘perilaku mutu’ lain dimunculkan seseorang, maka turut pula pengorbanan fisik dan psikis harus menyertai.
Melalui cerita yang disampaikan seseorang. Pilihan untuk melanjutkan pendidikan formal (sebagai bagian 'perilaku mutu'), dianggap tak sejalan dengan kebijakan lingkungan (tempat kerja). Bahkan ‘self improvement’ membaca dan menulis artikel seperti ini sendiri masih dianggap ‘a-sosial’ dengan tuduhan yang menyakitkan seperti ‘mengerjakan obyek di luar kantor’. Pilihan melanjutkan pendidikan formal ‘bermutu’, sudah dapat dipastikan akan membenturkan pada masalah finansial. Karena toh masih berlaku, ada uang ada barang.
Di lain pihak, jadwal waktu ‘kerja’ dan melaksanakan pendidikan lanjutan ‘bermutu’ tidak selalu sinkron. Adakalanya memenuhi tuntutan waktu mengikuti pendidikan bermutu harus mengorbankan kewajiban lain. Upaya pribadi bernegoisasi – trade off – antara dua kepentingan seringkali mengurangi kapabilitas perilaku mutu seseorang. Apalagi, jika ternyata lingkungan diciptakan dari ‘kebijakan mutu’ yang didasarkan pada ‘personal sense’ bukan pada ‘common sense’. Sehingga tak jarang lingkungan seperti ini menyebabkan 'clash' antar persona di tempat kerja. Bagi pencetus dan pengawal kebijakan, ‘standar mutu’ yang sudah usang dan dijadikan pegangan, memjadikannya kacamata kuda. Bahkan tuntutan ‘lingkungan mutu’ baru masih belum dianggap sah tanpa ‘petunjuk pusat’.
Kebutuhan lingkungan tempat kerja … not just good people; it needs people that are improving with education (Deming, 1986: 86). Sehingga organisasi tempat bekerja tidak akan pernah mengalami kelangkaan karyawan yang berpengetahuan dan mampu bekerja yang memberikan banyak kesempatan kerja sebagai pengembangan karir dan masa depan.
Kebijakan ‘lingkungan mutu’ distribusi tanggung jawab melaksanakan pekerjaan dan menyempurnakan hasil kerja adalah salah satu contoh agar seseorang tidak merasa puas dengan pendidikan formal yang dimiliki.
Life is change tegas Bapak Harris Iskandar (2009a) dalam sambutan apel pagi terakhir beliau kamis, 5 Februari 2009. Genap enam bulan, Beliau menjabat pelaksana tugas Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Formal dan Informal Regional I Jayagiri.

Mewadahi perilaku mutu dan lingkungan mutu
Bibit pertikaian dalam menyikapi perubahan akibat tuntutan baku mutu, memang tidak kasat mata. Bahkan dapat meledak seketika, ‘private enterprise’ banyak merasakan dampak ini seperti dalam ujud demo buruh, hingga anjloknya produktifitas bahkan penutupan operasi usaha karena bangkrut.
Seorang karyawan perusahaan swasta, tidak layak hanya sekedar tuntuan ‘mutu’ kehidupannya sendiri, dengan mengabaikan tuntutan tempat kerja dalam menjaga kelangsungan hidup.
Sedikit berbeda dialami oleh ‘public state enterprise’ yang masih kebal dari ‘demo’ dan ‘mogok’. Masalah produktifitas menjadi wacana yang mewarnai evolusi dunia kerja akibat tuntutan dan tantangan universal. Di belahan dunia lain, seperti di Brazil dalam lima tahun terakhir, evolusi ini telah menjadikan privatisasi sejumlah ‘pubic state entreprise’ dimulai dari bidang layanan kesehatan dan pendidikan. Indonesia sendiri baru menapakinya, akhir tahun 2008 melalui penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP), setelah sebelumnya didahului dengan Badan Hukum Milik negara (BHMN) sejumlah PTN.
Pandangan lingkungan kerja adalah semata-mata memiliki aturan dan lingkungan sendiri tidak dapat lagi dipertahankan sekedar mempertahankan ‘keangkeran’ lembaga. Bahkan Istana Presiden pun sekarang merelakan waktu dalam seminggu satu kali untuk ‘open house’, mendekatkan kepada rakyat dan masyarakat. Bagi ‘public state enterprise’, tidak boleh lagi diciptakan keangkeran berdasarkan simbul ‘penguasa / pemerintah’. Paradigm ini ternyata telah pula menyemai dan menyuburkan benih korupsi.
Perilaku mutu yang mendasarkan diri pada ‘public service’ pertama-tama bukan dihantarkan oleh banyak pintu masuk yang disediakan untuk masyarakat. Melainkan oleh persepsi dan pandangan kita terhadap kebutuhan dan kemauan publik yang berbeda. Kategori publik, bagi P2-PNFI direpresentasikan bukan hanya oleh jumlah warga belajar PNF yang dilayani, bukan jumlah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) maupun Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB). Dalam banyak pertemuan, ternyata domain publik P2-PNFI mencakup instansi pemerintah lain termasuk di lingkungan pendidikan formal, baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Bahkan perhatian yang dicurahkan terhadap pendidikan non formal menempatkan lembaga swadaya masyarakat dalam domain publik lembaga P2-PNFI. Untuk berinteraksi dengan sejumlah representasi publik, diperlukan makna dan pemahaman atas lambang yang digunakan dalam berkomunikasi antar lembaga. Jika ini diabaikan, niscaya ide dan gagasan P2-PNFI dalam pengembangan PNF, hanya sebatas ‘model etalase’ tidak menjadikannya jajanan pasar yang bisa dinikmati rasa dan manfaatnya.
Perilaku mutu untuk menyerap bidang ilmu dan khazanah publik, hanya dapat dipenuhi oleh ‘lingkungan mutu’ yang kongruen. Aturan dan kebijakan yang tidak pro-publik atau semu, perlu di-republik-kan melalui mekanisme ISO dimana WMA dan gugus tugas berkepentingan. Kebijakan Jakarta yang digambarkan ‘meneropong dari puncak monas’ tidak sama dengan kebutuhan gambaran publik sesungguhnya. Belum lagi suasana bati, kebijakan yang diterapkan saat rejim orde baru, memiliki suasana berbeda dengan situasi kerja yang mengharuskan ‘lingkungan mutu’ yang adaptif dengan kebutuhan publik yang dihadapkan pada tantangan keseimbangan tekanan. Tekanan itu (Sukmadinata, 2005:199) adalah tuntutan global dan lokal, universal dan individual, tradisional dan modern, pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, kompetensi dan pemberian kesempatan sama, serta tuntutan spiritual dan tuntutan material.
Setiap tiga puluh detik mengutip Denis Waitley (Adiwiyoto,1996: 15), beberapa perusahaan teknologi baru menghasilkan inovasi. Pendidikan formal sama sekali tidak cukup karena semakin banyaknya hal yang perlu diketahui. Menurut hemat penulis, kebutuhan sumber belajar menjadi semakin beragam yang tidak hanya cukup mengandalkan perpustakaan kantor yang lebih banyak mebelair dibanding buku dan bahan kepustakaan lain (Iskandar, 2009b).


Bacaan Lebih Lanjut:
Adiwiyoto, Anton (pen.) (1996). Empires of The Mind. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Deming, W. Edwards (1986) Out of The Crisis: Quality, Productivity and Competitive Position. Cambridge et.al.: Cambridge University Press.
Iskandar, Harris. (2009a). Sambutan Apel Pagi. Kamis, 5 Pebruari 2009. Catatan Pribadi. Tidak Diterbitkan.
-------------- (2009b). Pengarahan Penulisan Naskah Pedoman Pembentukan dan Pengembangan PKBM, SKB, dan Pusat PAUD. Jumat, 30 Januari 2009. Notulen. Tidak diterbitkan.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cetakan Ketiga. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Minggu, 01 Februari 2009

Standard Gaji 2009

* Written by Yodhia Antariksa
* Posted February 2, 2009 at 2:02 am

Memberi nafkah pada anak dan keluarga secara layak saya kira merupakan salah satu ikhtiar penting yang mesti kita lakoni dengan sepenuh hati. Bekerja dengan ikhlas dan penuh dedikasi demi mendapat penghasilan atau income yang memadai tentu juga merupakan sebuah rangkaian ibadah yang mesti kita rawat dengan penuh keteguhan.

Penghasilan yang layak dan nafkah yang memadai tentu saja tidak lepas dari standard gaji atau penghasilan yang Anda terima setiap bulannya. Lalu berapa standard gaji untuk setiap level yang berlaku di dunia kerja Indonesia? Berikut adalah daftar standard gaji yang kira-kira menggambarkan besaran pendapatan yang diterima oleh para pekerja dan manajer di tanah air setiap bulannya.

Fresh Graduates/Entry Level. Kisaran Standard Gaji Rp 2 – 3 juta/bulan
Dalam sepuluh tahun terakhir, besaran gaji para fresh graduates (lulusan S-1) tampaknya tidak bergerak naik secara signifikan. Penyebabnya sederhana : supply cenderung jauh lebih tinggi dibanding demand; sehingga buyer (perusahaan) memiliki keleluasaan untuk memberikan gaji yang relatif rendah. Meski demikian sejumlah perusahaan multi nasional kini memberikan gaji bagi para fresh graduate-nya pada angka Rp 4 juta/bulan; sementara Bank Indonesia sejauh yang saya tahu, telah memberikan gaji Rp 5 juta/bulan untuk para lulusan sarjana baru yang bekerja untuk mereka. Namun demikian, masih banyak juga lulusan sarjana S-1 baru yang mendapat gaji sebanding dengan UMR alias sekitar Rp 1 jutaan saja per bulan.

Asisten Manajer. Kisaran Standard Gaji Rp 5 – 8 juta/bulan
Jika Anda sudah bekerja di kantor Anda selama 3 – 5 tahun, selayaknya Anda sudah menduduki posisi ini. Dan itu artinya Anda bisa mendapatkan income sekitar Rp 5 – 8 jutaan per bulannya. Kalau sudah bertahun-tahun Anda tetap saja menjadi staf biasa dan tak pernah kunjung naik posisinya ke level ini, ya Anda bisa mulai melakukan sejumlah manuver untuk membuat perjalanan karir tidak menjadi stagnan selamanya. Sebab kalau ndak pernah naik posisinya, gaji Anda ya juga ndak akan naik-naik (sementara harga semangkuk lontong sayur rasanya terus bergerak naik).

Manajer/Kepala Bagian. Kisaran Standard Gaji Rp 10 – 15 juta/bulan
Dalam kurun waktu 7 – 10 tahun bekerja, selayaknya Anda sudah bisa berada pada posisi ini. Kisaran gaji untuk posisi ini adalah Rp 10 – 15 juta, meski ada sejumlah perusahaan yang memberikan gaji hingga Rp 20 juta/bulan untuk para manajernya. Namun sejumlah bank nasional, seperti Bank BNI misalnya, memberikan gaji sekitar Rp 12 – 14 jutaan/bulan kepada para manajernya.

Selain gaji yang cukup tinggi, karyawan pada posisi ini biasanya akan mendapatkan car ownership program (program kepemilikan mobil). Dulu, perusahaan tempat saya bekerja memberikan bantuan gratis sebesar 70% dari harga mobil; dan sang manajer hanya memberikan alokasi dana 30 % saja, untuk bisa mendapatkan sebuah mobil sekelas Kijang Innova atau Honda City.

Manajer Senior/General Manajer/VP. Kisaran Standard Gaji Rp 20 – 30 juta/bulan
Minggu lalu disela-sela memberikan workshop kepada sebuah perusahaan perkebunan besar di Medan, saya berbincang-bincang dengan salah satu pesertanya yang kebetulan berposisi sebagai Manajer Senior. Ia bilang kalau ia memperoleh gaji sebesar Rp 25 juta/bulan. Dan ajaibnya, karena limpahan harga komoditi yang melonjak di tahun lalu, ia bilang tahun ini perusahaannya akan memberikan bonus 8 kali gaji (!) kepada seluruh karyawannya. “Alhamdulilah pak Yodhia….”, ujarnya dengan wajah sumringah. Halah, bagaimana ndak sumringah, wong sebentar lagi mau mendapat rezeki sebesar Rp 200 juta kontan.

Division Head/Executive VP/Direktur/Direktur Utama. Kisaran Standard Gaji Rp 50 juta – 100 juta/bulan
Dengan kisaran gaji seperti itu, pendapatan para direktur/division head/EVP berarti hampir sama dengan gaji seorang pilot senior Boeing 747 Jumbo di maskapai Garuda Indonesia (sebab gaji pilot senior untuk rute internasional di Garuda adalah Rp 90 juta/bulan).

Business Owner. Kisaran Standard Gaji : Unlimited
Nah, kalau Anda merasa ndak mampu menjadi manajer atau senior manajer, dan karirnya begitu-begitu saja; mengapa tidak memutuskan memulai usaha sendiri dan menjadi seorang business owner? Sebab dengan posisi itu, potensi gaji atau pendapatan Anda bersifat unlimited (tidak terbatas). Sebab Anda sendiri yang dengan bebas bisa menentukan berapa besar pendapatan yang layak Anda terima.

Demikianlah kira-kira Standard Gaji 2009.

Catatan Tambahan:
Artikel asli dapat diunduh dari link: http://strategimanajemen.net/2009/02/02/standard-gaji-2009/.
Maksud artikel ini dimuat dalam blog ini adalah menawarkan mimpi menciptakan pekerjaan sesuai standard gaji partikelir. Saat pensiun nanti, kita semua sudah dapat menerka rutinitas tiap bulan antri uang pensiun.
Bagaimana jika, sejak sekarang diciptakan peluang memperoleh gaji partikelir.....sehingga pensiun nanti tinggal menikmati hari tua dengan keliling dunia.

Minggu, 11 Januari 2009

MENGENANG KEMBALI PENDIDIKAN MASYARAKAT
oleh E. Hardiyanto

“Mentari kelak kan tenggelam,
Gelap kan datang dingin mencekam.
Harapanku bintang kan terang memberi sinar dalam hatiku”
“Kulihat di malam itu, kau beri daku senyum kedamaian,
mungkinkan akan tinggal kenangan, jawabnya tertiup di angin lalu”.
Dikutip dari syair ‘Melati dari Jayagiri’ gubahan Iwan ‘Abah’ Abdurahman.

Lirik lagu di atas 40 tahun lalu digubah oleh tokoh Wanadri dan sempat dinyanyikan menjadi terkenal oleh grup penyanyi Bimbo.
Menggali kembali catatan batin lagu ‘melati dari jayagiri’ saat didendangkan kembali lagu tersebut langsung oleh penggubahnya, mengajak penulis hadir di masa 40 tahun silam. Bahkan transformasi pesan batin lagu tersebut masih tetap dapat dirasakan khususnya bagi setiap praktisi Pendidikan dan Pembangunan dalam Masyarakat yang sempat mengenal Jayagiri.

Jayagiri adalah nama sebuah desa kecil yang terletak di atas bukit di kecamatan Lembang, sekarang menjadi wilayah kabupaten Bandung Barat ini, sama seperti dengan tipologi desa lain di wilayah lain. Jalan desa ini menjadi ‘track’ bagi penjelajah dan oencinta alam menuju kaki gunung Tangkuban Perahu.
Beberapa tahun terakhir, lintasan ini tak lagi menantang untuk dilalui, ditandai dengan kegiatan ‘hiking’ dan ‘camping’ yang sudah tidak menjadi trend, juga banyak penikmat lokasi gunung tangkuban perahu lebih memilih berkendaraan hingga puncak. Padahal, ada pengalam batin untuk menyatu dengan alam saat menyusuri jalan desa dan jalan setapak di antara tegakan pinus dan belukar menuju kawah gunung tangkuban perahu.
Pengalaman batin di atas tak lagi bisa dirasakan, penataan oleh pengelola kawasan pemangku hutan bandung utara pun seakan mengabaikan hal ini. Seperti halnya, diabaikannya sejarah dan jasa jaringan pipa besi peninggalan belanda dari penampungan di atas bukit yang mengalirkan air bersih untuk kawasan lembang. Perlahan semakin pupus makna tempat bernilai sejarah di Lembang, bahkan Taman Junghun pun hanya terpana dikepung dan sebagian lahannya digerogoti oleh pemukiman padat maupun aktifitas penduduk setiap hari.

Pengalaman yang dirasakan sekarang saat berada di Jayagiri seperti syair lagu di atas, seperti merasakan mentari kelak kan tenggelam.

Jayagiri: Makna sebuah keyakinan
Menyusur jalan desa dari Lembang sepanjang delapan ratus meter kea rah bukit Jayagiri, di bagian sisi kiri jalan empat puluh tahun silam sebuah bangunan menjadi saksi sejarah bagi Pendidikan Masyarakat. Sekarang bangunan tersebut telah dipugar menjadi Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah (BP-PLS) Regional I. Di tempat yang sama, empat puluh tahun silam seumur dengan lagu “Melati dari Jayagiri” didirikan Pusat Penjelidikan dan Latihan Nasional Pendidikan Masyarakat (PPLNPM).
Pusat latihan ini merupakan kelanjutan upaya Divisi Pendidikan Masyarakat yang sejak 1 Juni 1946 merupakan bagian Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk menangani tugas (a) memberantas buta huruf (b) mengelola pendidikan pengetahuan umum dan (c) mengembangkan ‘sistem perpustakaan umum’.

Sebagai negara baru merdeka yang berupaya mewujudkan amanat UUD 1945 memberikan kesempatan pendidikan bagai semua warga negara, saat itu dipilih tiga pendekatan peningkatan taraf pendidikan (a) menambah jumlah sekolah rakyat (SR), (b) memperpanjang waktu SR dari tiga tahun menjadi enam tahun, dan (c) meningkatkan standar dan kualitas pendidikan. Ternyata jumlah peserta didik usia SD, SLP dan SLA tahun 1950 meningkat seratus kali lipat dibandingkan 1945, sementara untuk peserta didik perguruan tinggi melonjak hingga dua ratus kali lipat pada periode sama. Pendidikan dianggap mampu menyediakan kesempatan menguasai pengetahuan dan meningkatkan taraf hidup.

Dihadapkan pada kenyataan tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, dan diperlukan peningkatan peningkatankehidupan intelektual bangsa melalui pendidikan masyarakat. Mangunsarkoro meminta Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) memperhatikan pendidikan masyarakat. Permintaan ini membuahkan dibentuknya Divisi Pendidikan Masyarakat di bawah kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.Perubahan menjadi Departemen Pendidikan Masyarakat dilakukan 1 Agustus 1949 dengan tugas: a. Mengembangkan, menyempurnakan dan mememnuhi kebutuhan pendidikan masyarakat di luar sekolah formal, sehingga seluruh anggota masyarakat memperoleh kesadaran dan kecerdasan, mencapai kehidupan yang berguna dan menambah nilai bagi bangsa dan dunia; b. Diantara peran paling penting adalah program pemberantasan buata huruf secara berkelanjutan, menyelenggarakan kursus pengetahuan umum, A, B, dan C, menyiapkan dan membantu penyelenggaraan “Sistem Perpustakaan Nasional” serta penyediaan buku petunjuk dan bacaan. Sejalan dengan peran ini adalah membimbing secara berkelanjutan penyelenggara program pemberatasasn buta huruf, dan penyelenggara program pengetahuan umum mengenai ekonomi, dan tata negara, serta menyediakan buku, layanan dan majalah untuk umum, dsb.

Dalam perkembangan berikutnya, Jayagiri tetap menjadi saksi bisu penyelenggaraan pendidikan masyarakat yang di awal bertajuk pada peningkatan intelektual masyarakat bagi pembangunan dan pengembangan ‘kapital’ masyarakat. Di kemudian hari, pendidikan masyarakat hanya sekedar menggawangi kegiatan pendidikan ‘berbasis manajemen sekolah’ seperti Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Kesetaraan, Pendidikan Kursus.

Beberapa tindakan dan upaya pembangunan dan pengembangan ‘kapital’ masyarakat pun tidak lagi dianggap sebagai bagian dari upaya pendidikan dalam mengembangkan kesadaran, peningkatan intelektual menuju kehidupan yang lebih berdaya guna serta bernilai guna bagi pembangunan bangsa dan dunia.

Penyusutan makna ini semakin jelas dengan melihat, keberadaan PPLNPM (1960-1978) yang berubah sebagai Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) (1978-2003), kemudian Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) (2003-2007) sebelum Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (BP-PNFI) (2007-2008). Sekarang PLNPM itu menjadi Pusat Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (P2-PNFI) (2008-…) sementara syair lagu ‘melati dari jayagiri’ semakin nyaring dalam ruang kedap batin anak manusia yang tersenyum getir. Kegetiran akibat perkembangan dan pertumbuhan intelektual masyarakat yang disemai melalui pendidikan masyarakat menjadi hampir niscaya dan pendidikan masyarakat tak lagi dipandang membangun dan mengembangkan ‘kapital’ masyarakat sejajar dengan marjinalisasi pendidikan non formal. Pendidikan Non Formal adalah sebuah strategi pendekatan yang dijadikan acuan instansi Pendidikan di luar jalur sekolah.

Bacaan Lebih Lanjut:
Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. (2004). The Profile of Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (Centre of Development for Nonformal Education and Youth). Bandung: Centre of Development for Nonformal Education and Youth.

Djojonegoro, Wardiman (1997) Fifty Years of Indonesian Education National Development. Office of Research and Development MOEC